PRO
KONTRA BUDAYA “TONG-TONG PREK” DI ERA DIGITAL
Oleh
: Sekha Rakhmani
Sebagai salah satu mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Pancasakti Tegal yang ingin menuangkan ide dan gagasan kedalam tulisan
ini dan juga sebagai pemenuhan tugas mata kuliah menullis. Pengertian pro adalah sebuah bentuk
dari reaksi yang dimana baik, positif maupun setuju terhadap segala macam
bentuk hal.Pengertian kontra adalah sebuah bentuk
reaksi negatif yang dimana melakukan penentangan, maupun tidak akan setuju
terhadap sebuah hal. Sedangkan Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Selanjutnya “Tong-tong prek”adalah suatu kebudayaan untuk membangunkan sahur
dengan menggunakan alat yang dibuat dari bambu dan dimainkan beramai-ramai oleh
anak-anak atau remaja laki-laki di bulan Ramadhan.
Dahulu tong-tong prek sangat membantu warga saat bulan Ramadhan untuk
membangunkan warga untuk bersahur di bulan Ramadhan, tidak heran tong-tong prek
adalah salah satu kegiatan yang sangat menyenangkan bagi para remaja dan anak
laki-laki dahulu bahkan sampai sekarang masih ada di desa-desa yang mayoritas
islam, tetapi di kota mungkin sudah tidak ada kegiatan tong-tong prek. Sebagai
kebudayaan tentunya kegiatan tersebut sangat bagus untuk dilestarikan terkhusus
bagi para remaja atau anak laki-laki yang sangat antusias dengan kegiatan
tersebut karena menurutnya menjadi waktu untuk bertemu dan berkumpul dengan
teman sebayanya saat bulan Ramadhan. Bagi ibu-ibu juga sangat membantunya dalam
mempersiapkan santap sahur supaya tidak terlewat.
Tetapi berbeda ceritanya jika di era digital yang saat ini warga desa mulai
memiliki smartphone, karena sudah tersedianya fitur alarm atau
jam pengingat supaya berbunyi pada pukul yang ditentukan. Selain itu tong-tont
prek juga mengganggu kenyamanan tidur bagi pekerja siang-sore karena tidurnya
terganggu sebelum jam sahur karena rata-rata tong-tong prek dilaksanakan
sekitar pukul dua dini hari disaat sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Sedangkan memasak
untuk santap sahur bisa dilaksanakan tiga puluh menit sebelum santap sahur yang
dilaksanakan sekitar pukul empat dini hari, lalu apa faedahnya membangunkan
pukul dua dini hari ? itu hanya akan mengganggu saat tidur nyenyak warga itupun
di era dijital yang saat ini sudah merambah di desa-desa. Justru sekarang
tong-tong prek menjadi kebudayaan yang menggangu bahkan tak jarang ada warga
yang memarahi anak-anak atau remaja yang melakukan kegiatan tersebut.
Selain itu dahulu tong-tong prek sangat sopan dan tidak begitu bising
seperti sekarang tak ayal tong-tong prek sekarang hanya sebagai euphoria bagi
mereka bukan seperti dulu yang bertujuan membangunkan orang untuk bersantap
sahur sebagai sarana ibadah mereka. Hal ini dilihat dari siapa saja yang
melaksanakan kegiatan tong-tong prek tersebut, dahulu dilaksanakan oleh
anak-anak atau remaja yang memang berkecimpung di mushola atau masjid tetapi
sekarang dilaksanakan oleh anak-anak yang bahkan sholat jamaah di mushola atau
di masjid tidak pernah terlihat, sungguh meresahkan. Suara bising tersebut
seperti ada arak-arakan acara karnaval pada 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan
persis ramainya. Warga pun banyak yang geram dengan aksi para remaja tersebut
di era digital sekarang apakah tong-tong prek masih relevan?
Atas
apa yang telah saya dan warga alami maka seharusnya tong-tong prek diadakan
saat pukul tiga dini hari dan dengan suara yang tidak bising dengan membunyikan
alat sewajarnya, tidak terlalu keras supaya tidak menggangu kenyamanan tidur
warga dan tetap melestarikan kebudayaan yang sejak dulu ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar