Sabtu, 24 April 2021

 

PRO KONTRA BUDAYA “TONG-TONG PREK” DI ERA DIGITAL

Oleh : Sekha Rakhmani

 

Sebagai salah satu mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pancasakti Tegal yang ingin menuangkan ide dan gagasan kedalam tulisan ini dan juga sebagai pemenuhan tugas mata kuliah menullis. Pengertian pro adalah sebuah bentuk dari reaksi yang dimana baik, positif maupun setuju terhadap segala macam bentuk hal.Pengertian kontra adalah sebuah bentuk reaksi negatif yang dimana melakukan penentangan, maupun tidak akan setuju terhadap sebuah hal. Sedangkan Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaianbangunan, dan karya seni. Selanjutnya “Tong-tong prek”adalah suatu kebudayaan untuk membangunkan sahur dengan menggunakan alat yang dibuat dari bambu dan dimainkan beramai-ramai oleh anak-anak atau remaja laki-laki di bulan Ramadhan.

 

Dahulu tong-tong prek sangat membantu warga saat bulan Ramadhan untuk membangunkan warga untuk bersahur di bulan Ramadhan, tidak heran tong-tong prek adalah salah satu kegiatan yang sangat menyenangkan bagi para remaja dan anak laki-laki dahulu bahkan sampai sekarang masih ada di desa-desa yang mayoritas islam, tetapi di kota mungkin sudah tidak ada kegiatan tong-tong prek. Sebagai kebudayaan tentunya kegiatan tersebut sangat bagus untuk dilestarikan terkhusus bagi para remaja atau anak laki-laki yang sangat antusias dengan kegiatan tersebut karena menurutnya menjadi waktu untuk bertemu dan berkumpul dengan teman sebayanya saat bulan Ramadhan. Bagi ibu-ibu juga sangat membantunya dalam mempersiapkan santap sahur supaya tidak terlewat.

 

Tetapi berbeda ceritanya jika di era digital yang saat ini warga desa mulai memiliki smartphone, karena sudah tersedianya fitur alarm atau jam pengingat supaya berbunyi pada pukul yang ditentukan. Selain itu tong-tont prek juga mengganggu kenyamanan tidur bagi pekerja siang-sore karena tidurnya terganggu sebelum jam sahur karena rata-rata tong-tong prek dilaksanakan sekitar pukul dua dini hari disaat sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Sedangkan memasak untuk santap sahur bisa dilaksanakan tiga puluh menit sebelum santap sahur yang dilaksanakan sekitar pukul empat dini hari, lalu apa faedahnya membangunkan pukul dua dini hari ? itu hanya akan mengganggu saat tidur nyenyak warga itupun di era dijital yang saat ini sudah merambah di desa-desa. Justru sekarang tong-tong prek menjadi kebudayaan yang menggangu bahkan tak jarang ada warga yang memarahi anak-anak atau remaja yang melakukan kegiatan tersebut.

 

 

Selain itu dahulu tong-tong prek sangat sopan dan tidak begitu bising seperti sekarang tak ayal tong-tong prek sekarang hanya sebagai euphoria bagi mereka bukan seperti dulu yang bertujuan membangunkan orang untuk bersantap sahur sebagai sarana ibadah mereka. Hal ini dilihat dari siapa saja yang melaksanakan kegiatan tong-tong prek tersebut, dahulu dilaksanakan oleh anak-anak atau remaja yang memang berkecimpung di mushola atau masjid tetapi sekarang dilaksanakan oleh anak-anak yang bahkan sholat jamaah di mushola atau di masjid tidak pernah terlihat, sungguh meresahkan. Suara bising tersebut seperti ada arak-arakan acara karnaval pada 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan persis ramainya. Warga pun banyak yang geram dengan aksi para remaja tersebut di era digital sekarang apakah tong-tong prek masih relevan?

 

Atas apa yang telah saya dan warga alami maka seharusnya tong-tong prek diadakan saat pukul tiga dini hari dan dengan suara yang tidak bising dengan membunyikan alat sewajarnya, tidak terlalu keras supaya tidak menggangu kenyamanan tidur warga dan tetap melestarikan kebudayaan yang sejak dulu ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar